Sebenarnya, tak ada rencana yang pasti terselesaikan, ataupun kesulitan yang tak dapat dicegah. Semua kejadian yang dihadapi seseorang dalam hidupnya telah ditentukan sebelumnya oleh Allah dalam takdirnya. Hal ini disebutkan dalam ayat berikut,
“Dia meengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (laamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (as-Sajdah: 5)
“Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)
Seorang mukmin salah mengira bahwa hari-hari yang dilaluinya adalah apa yang telah ia rencanakan sebelumnya. Kenyataan sebenarnya adalah bahwa ia hanya menyesuaikan diri dengan takdir Allah yang telah ditetapkan atasnya. Bahkan jika seseorang mengira bahwa ia telah berperan dalam sebuah situasi, ia menganggap ia dapat mengubah takdirnya. Sebenarnya ia mengalami momen lain yang telah ditakdirkan untuknya. Tak ada satu waktupun dalam kehidupan kita terjadi di luar takdir. Seseorang yang sedang koma, tak lama kemudian meninggal karena Allah telah mentakdirkannya demikian. Sedangkan orang dengan kondisi yang sama sembuh berbulan-bulan kemudian karena ia telah ditakdirkan demikian pula.
Bagi orang yang tak benar-benar mengerti arti takdir, semua peristiwa terjadi karena ketidaksengajaan. Ia salah mengasumsikan bahwa segala yang ada di alam semesta ini mandiri keberadaannya. Itulah mengapa ketika ia terkena bencana, ia menganggapnya sebagai suatu kesialan.
Meski demikian, manusia terbatas kearifan dan pemahamannya, ia bahkan dibatasi oleh ruang dan waktu. Di sisi lain, semua yang menimpa seseorang telah direncanakan oleh Allah swt., Pemilik Kebijaksanaan Yang Tak Terbatas, Dia yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
“Tak ada suatu bencanapun yang menimpa di muka bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadiid: 22)
Pada dasarnya, apa yang harus dilakukan seseorang adalah menyerahkan dirinya pada akdir yang telah ditetapkan oleh penciptanya, dan tetap menyadari bahwa segalanya akan berakhir. Sesungguhnya, orang yang benar keimanannya menggunakan setiap detik kehidupan mereka dengan mengakui kenyataan bahwa apa pun yang terjadi, semuanya merupakan bagian dari takdir mereka, dan bahwa Allah telah merencanakan keadaan tersebut dengan maksud-maksud tertentu. Mereka terus mengambil manfaat dari pandangan yang positif ini. Mereka bahkan menilainya sebagai suatu kebaikan. Akhlaq mulia dan penyerahan diri total yang dijalankan oleh orang-orang beriman dijelaskan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut,
“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (at-Taubah: 51)
Pada akhirnya, seseorang tidak akan pernah bisa mencegah terjadinya suatu peristiwa, baik ia menilainya sebagai suatu kebaikan ataupun keburukan. Jika ia melihat kebaikan dalam segala hal, maka ia akan selalu mendapatkan manfaat. Jika sebaliknya, ia hanya akan membahayakan dirinya sendiri. Menyesal atau memberontak tak akan mengubah apa pun dalam takdir seseorang. Karena itulah, tanggung jawab seorang manusia sebagai abdi Allah adalah untuk menyerahkan dirinya kepada keadilannya yang tak terbatas dan takdir yang telah ditentukan-Nya demi untuk menghargai semua peristiwa sebagai suatu kebaikan dan orang yang demikian menyaksikan takdirnya dengan hati yang tenang dan damai.
Orang-orang beriman sepenuhnya hidup dalam kepatuhan kepada Allah. Mereka menyadari bahwa dalam setiap detik kehidupannya segala hal diciptakan oleh Allah dan telah ditentukan sebelumnya oleh Dia dengan rencana tertentu. Walaupun orang-orang beriman dapat menghadapi segala macam kesulitan dan cobaan sepanjang hidupnya, mereka tidak pernah menyesal dan berkata, “seandainya ini tidak terjadi padaku”. Mereka percaya bahwa suatu tujuan Ilahiah dan kebaikan akan ditemukan dalam setiap kejadian. Karena itulah, bahkan dalam keadaan yang sangat menekan, mereka hidup dalam kedamaian pikiran. Bagaimanapun juga, kaum kafir yang tidak menyadari kebenaran ini, merasa sangat khawatir saat berhadapan dengan sebuah peristiwa yang menurut mereka buruk. Keputusasaan menghantui hidup mereka. Sesuai fitrah, kenyataannya manusia tidak henti-hentinya mencari kedamaian dan kenyamanan hidup dari penderitaan fisik dan spiritual yang disebabkan oleh kesulitan, stress, dan kesedihan. Namun kepedihan, tekanan, dan keputusasaan yang ditimpakan kepada seseorang yang tidak yakin kepada Allah atau tidak mencoba melihat kebaikan dalam apa yang menimpanya, akan sangat mengganggu hidupnya. Ia tidak akan dapat membebaskan dirinya dari ketakutan akan masa depan, kematian, dan kemiskinan.
Keselamatan manusia hanyalah didapat dengan mengingat bahwa Allah menciptakan setiap kejadian demi tujuan-tujuan Ilahiah dan kebaikan tertentu. Seorang mukmin meyakini keimanannya kepada Allah dengan sebenar-benarnya iman, karena ia memahami hal tersebut. Ia bersikap sebagai hamba sejati bukan hanya karena ia bertahan dalam keadaan ini, tetapi ia menjalaninya dengan penuh kesabaran. Selalu berusaha dekat dengan Allah, berdo’a, dan meyakini-Nya, serta berharap bahwa segalanya datang dari Allah, adalah merupakan sifat-sifat istimewa orang-orang beriman.
Di dunia ini, tempat dimana kita menunggu dibukanya gerbang surga, seorang mukmin menghadapi berbagai macam keadaan sebagai bagian dari cobaan hidupnya. Selama cobaan ini, ia memimpin dirinya dengan tanggung jawab kepada Allah dan berusaha keras untuk mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Ia menjauhi nereka, takut kepada Allah, dan melihat kebaikan dalam segala yang terjadi pada diri dan sekitarnya. Walaupun misalnya ia tidak dapat melihat kebaikan itu, ia selalu ingat bahwa Allah-lah yang mengetahui segalanya, bagaimanapun keadaannya. Seorang mukmin adalah suatu zat yang telah diturunkan ke dunia dari surga melalui ketiadaan waktu. Itulah dalam pandangan Allah. Di sinilah ia tinggal untuk jangka waktu yang singkat, sampai ia diijinkan Allah untuk masuk ke dalam peristirahatan terakhirnya. Allah mengatakan kepada kita tentang sebuah peritiwa yang pasti akan terjadi pada hamba-Nya yang takut pada-Nya dan selalu melaksanakan tugas-tugas dari-Nya.
“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombongan-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.’ Dan mereka mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memenuhijanji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki.’ Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal. Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling ‘Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.’” (az Zumar: 73-75)
“Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)
Kenyataannya, kemampuan melihat kebaikan dalam setiap kejadian, apa pun kondisinya—baik yang menyenangkan maupun tidak—merupakan kualitas moral yang penting, yang timbul dari keyakinan yang tulus akan Allah, dan pendekatan tentang kehidupan yang disebabkan oleh keimanan. Pada akhirnya, pemahaman akan kebenaran ini menjadi sangat penting dalam menuntun seseorang tidak hanya untuk mencapai keberkahan hidup di dunia dan akhirat, tetapi juga juga untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang tak akan berakhir.
Tanda pemahaman yang benar akan arti iman adalah tidak adanya kekecewaan akan apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini. Sebaliknya, jika seseorang gagal melihat kebaikan dalam setiap peristiwa yang terjadi dan terperangkap dalam ketakutan, kekhawatiran, keputusasaan, kesedihan, dan sentimentalisme, ini menunjukkan kurangnya kemurnian iman. Kebingungan ini harus segera dienyahkan dan kesenangan yang berasal dari keyakinan yang teguh harus diterima sebagai bagian hidup yang penting. Orang yang beriman mengetahui bahwa peristiwa yang pada awalnya terlihat tidak menyenangkan, termasuk hal-hal yang disebabkan oleh tindakannya yang salah, pada akhirnya akan bermanfaat baginya. Jika ia menyebutnya sebagai “kemalangan”, “kesialan”, atau “seandainya”, ini hanyalah untuk menarik pelajaran dari sebuah pengalaman. Dengan kata lain, orang yang beriman mengetahui bahwa ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi. Ia belajar dari kesalahannya dan mencari cara untuk memperbaikinya. Bagaimanapun juga, jika ia jatuh dalam kesalahan yang sama, ia ingat bahwa semuanya memiliki maksud tertentu dan mudah saja memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam kesempatan mendatang. Bahkan jika hal yang sama terjadi puluhan kali lagi, seorang muslim harus ingat bahwa pada akhirnya peristiwa tersebut adalah untuk kebaikan dan menjadi hak Allah yang kekal. Kebenaran ini juga dinyatakan secara panjang lebar oleh Nabi saw.,
“Aku mengagumi seorang mukmin karena selalu ada kebaikan dalam setiap urusannya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur (kepada Allah) sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika ditimpa musibah, ia berserah diri (dan menjalankannya dengan sabar) bahwa di dalamnya ada kebaikan pula.” (HR Muslim)
hadist Rasulullah SAW, “Setiap kalian adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang amir adalah pemimpin atas rakyatnya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dari Hadist Nafi’ bin Umar radhiallahu anhuma).
Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar
disegerakan (datang)nya.}
(QS. An-Nahl: 1)
{Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.}
(QS. Al-Baqarah: 216)
Barangsiapa Kuambil orang yang dicintainya di dunia tetap mengharapkan
ridha(Ku), niscaya Aku akan menggantinya dengan surga." (Al-Hadits)
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.}
(QS. Al-Baqarah: 152)
"Hasbunallah wa ni'mal wakil." Dan, cukuplah Rabb-mu menjadi Pemberi Petunjuk dan Penolong.}
(QS. Al-Furqan: 31)
Aku memohon ampunan kepada Allah, tiada llah selain Dia Yang Maha
Hidup dan Berdiri Sendiri. Aku bertaubat kepada-Nya."
Tidak ada llah selain Engkau, Maha Tinggi Engkau, sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang zalim."
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan: "Aku sesuai sangkaan hamba-
Ku kepada-Ku, maka ia bebas berprangsaka apa saja kepada-Ku."
Hampir di setiap halaman Al-Qur`an, Allah meminta kita untuk memerhatikan hal tersebut. Inilah sebabnya mengapa ketidakmampuan dalam mengingat bahwa segalanya berjalan sesuai dengan takdir itu menjadi sebuah kegagalan yang mengerikan bagi seorang mukmin. Takdir yang dituliskan oleh Allah begitu unik dan dilewati oleh seseorang benar-benar sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan. Orang awam menganggap kepercayaan akan takdir semata-mata hanya merupakan cara untuk “menghibur diri” di saat tertimpa kemalangan. Sebaliknya, seorang mukmin memiliki pemahaman yang benar akan takdir. Ia sepenuhnya menganggap bahwa takdir adalah sebuah rencana Allah yang sempurna yang telah dirancang khusus untuk dirinya.
Takdir adalah rencana tanpa cacat yang dibuat untuk mempersiapkan seseorang untuk sebuah kenikmatan surga. Takdir penuh dengan keberkahan dan maksud Ilahiah. Setiap kesulitan yang dihadapi seorang mukmin di dunia ini akan menjadi sumber kebahagiaan, kesenangan, dan kedamaian yang tak terbatas di kemudian hari. “Sesungguhnya, setelah kesulitan itu ada kemudahan.” (al-Insyirah: 5) Ayat ini menarik kita pada kenyataan bahwa di dalam takdir seseorang, kesabaran dan semangat yang ditunjukkan oleh seorang mukmin, telah dituliskan sebelumnya bersama-sama dengan balasannya masing-masing di akhirat.
Sekali waktu mungkin terjadi dalam jenak kehidupan, seorang mukmin menjadi marah atau khawatir akan terjadinya hal-hal tertentu. Penyebab utama dari kemarahan yang ia rasakan adalah karena ia lupa bahwa semua itu merupakan bagian dari takdirnya dan bahwa takdirnya itu telah diciptakan oleh Allah hanya untuk dirinya sendiri. Walaupun demikian, ia akan merasa nyaman dan tenang ketika ia diingatkan akan tujuan ciptaan Allah.
Karena itulah, seorang mukmin harus belajar untuk terus mengingat bahwa segalanya telah ditetapkan sebelumnya. Ia harus mengingatkan orang lain akan hal ini. Ia harus bersabar saat menghadapi peristiwa-peristiwa yang Allah telah takdirkan untuknya dengan memberikan rasa percayanya kepada Allah dalam jarak waktu yang tak terbatas. Tak lupa, ia harus berusaha menemukan alasan-alasan di balik semua peristiwa tersebut. Jika ia berusaha memahami alasan-alasan ini, dengan seizin Allah, ia akhirnya akan berhasil. Bahkan walaupun ia tidak selalu berhasil menemukan maksud di baliknya, ia masih tetap yakin bahwa ketika sesuatu terjadi, pastilah semua itu demi kebaikan dan maksud tertentu.
Memahami sepenuhnya bahwa setiap makhluk, hidup ataupun tidak, diciptakan dalam kepatuhannya pada takdir.
Takdir adalah pengetahuan sempurna Allah atas semua peristiwa di masa lalu dan masa depan, laksana satu waktu saja. Ini menunjukkan kekuasaan mutlak Allah atas semua makhluk dan semua peristiwa. Manusia bisa saja berhati-hati agar tidak mengalami suatu peristiwa yang buruk, tetapi Allah mengetahui semua peristiwa sebelum hal itu terjadi. Bagi Allah, masa lalu dan masa depan adalah satu. Semua itu sama-sama berada dalam pengetahuan Allah karena Dialah yang menciptakannya.
dikutip dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar